(Bandung, 22/5/2013) Saat ini, dari total 672 unit kapal penunjang yang beroperasi di sektor hulu migas, hanya 20 kapal atau tiga persen masih berbendera asing. Artinya, 97 persen kapal telah berbendera Indonesia. Hal tersebut menunjukkan sektor industri minyak dan gas (migas) mendukung penuh pelaksanaan program Pemerintah yaitu asas Cabotage atau penggunaan kapal berbendera Indonesia.

“Fakta ini menunjukkan keberpihakan industri hulu migas pada perkapalan nasional,” demikian disampaikan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini pada acara Konvensi Nasional Penunjang Operasi Migas di Bandung (22/4).

Sektor transportasi khususnya bidang perkapalan merupakan salah satu yang cukup penting dan strategis dalam menunjang kelancaran kegiatan industri hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas). Keterlibatan Kementerian Perhubungan terkait dengan usaha hulu migas salah satunya dengan adanya program beyond cabotage.

Program beyond cabotage merupakan kelanjutan dari penerapan asas cabotage, yang juga sejalan dengan kegiatan Kementerian Perdagangan dalam kaitannya dengan meningkatkan tradisi angkutan laut nasional dalam perdagangan internasional.

Staf Ahli Menteri Perhubungan Bidang Lingkungan, Wendi Aritenang saat membacakan sambutan Menteri Perhubungan menuturkan, di bidang lalu lintas angkutan laut telah dikeluarkann Peraturan Pemerintah No 20 tahun 2010, tentang angkutan di perairan yang mengatur larangan terhadap penggunaan kapal asing untuk kegiatan lain selain angkutan dalam negeri  yang menggunakan kapal termasuk kegiatan usaha hulu migas.

Ia menambahkan belum seluruh perusahaan perkapalan nasional dapat memenuhi  kegiatan penunjang usaha hulu migas, maka penggunaan kapal berbendara asing diperlukan untuk menunjang kegiatan pertambangan migas lepas pantai. “Namun perlu diatur penggunaannya agar tidak mengganggu ketahanan energi nasional yang berdampak bagi perekonomian Indonesia,” ujarnya.

Rudi Rubiandini mengungkapkan dalam upaya melaksanakan program cabotage, ada beberapa tantangan penggunaan kapal nasional secara penuh di sektor hulu migas.

Ia menontohkan betapa sulitnya ketersediaan kapal seismik, pengeboran, dan penggelaran pipa yang berbendera Indonesia. Untuk kapal pengeboran, lanjutnya, berdasarkan data SKK Migas, baru terdapat tiga unit kapal berbendera Indonesia. Padahal, kebutuhan kapal pengeboran sampai dengan 2015 sekitar 64 kapal.

Kondisi tersebut menunjukkan suplai kapal pengeboran berbendera Indonesia masih sangat jauh dari kebutuhan operasional di hulu migas. Di sisi lain, seperti diketahui, Kementerian Perhubungan memberikan masa dispensasi kapal pengeboran sampai akhir tahun 2015.
“Merujuk rencana kegiatan pengeboran yang akan meningkat di masa mendatang, SKK Migas melihat perlu adanya terobosan agar dapat memenuhi ketentuan azas cabotage yang telah ditetapkan,” katanya.

Rudi menjelaskan, beberapa usaha dilakukan oleh SKK Migas bersama dengan kontraktor kontrak kerja sama (kontraktor KKS) dalam upaya pemenuhan implementasi azas cabotage yang digulirkan pemerintah. Diantaranya, memasukkan klausul kewajiban berbendera Indonesia dalam setiap proses pengadaan kapal, mengoptimalkan sharing capacity untuk penggunaan fasilitas penunjang operasi, dan melibatkan galangan kapal Nasional dalam setiap proyek pembangunan kapal baru di kontraktor KKKS.

Selain pelaskanaan Cabotage, dalam menunjang kelancaran kegiatan hulu migas diperlukan fasilitas dermaga, yang dipergunakan sebagai fasilitas sandar, tambat kapal dan bongkar muat kapal yang dipergunakan sebagai terminal khusus. Adapun terminal khusus yang telah mendapat izin pengoperasian dari Menteri Perhubungan antara lain adalah sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No KP 504 tahun 2009 tentang pemberian izin operasi kepada Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi, untuk mengoperasikan terminal khusus pertambangan minyak dan gas bumi di perairan selat malaka dan Jawa timur.
“Selain itu ada juga keputusan Menteri Perhubungan yang memberikan izin serupa, antara lain di pulau kosong di Kecamatan Bungku Sulawesi Tengah, di Samarinda Kalimantan Timur, di Kabupaten Seram bagian timur Prov. Maluku, di Kabupaten Sumenep Jawa Timur, dan sebagainya,” tutur Wendy.

Dalam rangka keselamatan pelayaran bagi kapal yang melakukan kegiatan di terminal khusus tersebut, Wendi mengatakan dapat dilakukan pekerjaan pengerukan alur dan kolam terminal khusus. Sedangkan untuk jasa pemanduan di perairan wajib pandu, maka kapal-kapal di atas 500 GT wajib menggunakan jasa pelayaran pemanduan.

“Dalam hal otoritas pelabuhan atau unit penyelenggara pelabuhan belum menyediakan jasa pandu diperairan wajib pandu dan pandu luar biasa yang ada di wilayah terminal khusus, pengelolaan dan pengoperasian pemanduan dapat dilimpahkan kepada pengelola terminal khusus yang memenuhi persyaratan serta mendapat izin dari menteri perhubungan,” terang Wendy.

Dalam konvensi tersebut juga, ditandatangai empat kesepahaman dengan instansi terkait. Pertama, antara Bidang Operasi SKK Migas dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut mengenai dukungan perizinan terkait kegiatan usaha hulu migas. Kedua, bidang Operasi SKK Migas dengan Direktorat Perhubungan Udara tentang penyelenggaraan pengawasan keamanan dan keselamatan penerbangan di Sektor Hulu Migas Indonesia. Kemudian, MoU antara SKK Migas dengan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika terkait pemasangan fasilitas pemantau cuaca (weather forecast) di kontraktor KKS. Terakhir, kesepakatan antara SKK Migas dengan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) mengenai kerja sama pengelolaan TENORM (technologically enhanced naturally occurring radioactive materials) yang dihasilkan industri hulu migas. (HH)