Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke yang memiliki kondisi geografis yang didominasi oleh ribuan pulau, lautan luas, serta daratan yang beragam mulai dari dataran rendah yang padat hingga pegunungan yang terjal tentunya menghadapi tantangan mobilitas yang kompleks juga menuntut solusi transportasi yang tidak hanya efisien dan terjangkau dalam menghubungkan pusat-pusat pergerakan ekonomi dan sosial. Dalam konteks ini keberadaan transportasi massal di wilayah perkotaan menjadi krusial untuk menjaga kelancaran roda kehidupan, salah satunya di ujung barat Nusantara, Provinsi Aceh.
Pada kesempatan kali ini, tim berkesempatan mengunjungi provinsi paling Barat Indonesia yaitu Aceh yang terkenal dengan sebutan Kota Serambi Mekkah. Keunikan Aceh menjadikannya terkenal dalam Keislaman dan Penerapan Syariat Islam seperti penerapan Adat dan Budaya Syar'i. Aceh juga terkenal karena menjadi titik terparah yang dilanda gempa bumi dan tsunami dahsyat pada 26 Desember 2004. Aceh dikenal sebagai surga kuliner dengan cita rasa yang kuat, pedas, dan kaya akan rempah, juga Kopi Gayo yang sangat terkenal di dunia karena kualitasnya yang tinggi dengan aroma yang kaya dan rasa yang unik, menjadikannya salah satu kopi terbaik di dunia.
Kisah Sukses Trans Koetaradja yang Lahir dari Kepercayaan Masyarakat
Setelah tsunami 2004, Banda Aceh tidak lagi memiliki angkutan umum sebagai sarana transportasi untuk melayani mobilitas masyarakat kota. Pada tanggal 2 Mei 2016, bus Trans Koetaradja resmi beroperasi, saat itu hanya satu koridor yaitu Pusat Kota (Masjid Raya Baiturrahman) – Darussalam (Pusat Perkuliahan), dengan jumlah bus sebanyak 25 unit hibah dari Kementerian Perhubungan. Seiring berjalan waktu, saat ini Trans Koetaradja sudah memiliki 59 unit bus, 25 bus ukuran besar dan 34 bus ukuran sedang yang melayani 6 koridor utama dan 5 rute feeder di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
Trans Koetaradja yang dikelola oleh Dinas Perhubungan Provinsi Aceh, merupakan kisah sukses transportasi publik yang lahir dari desakan dan kepercayaan penuh masyarakat. Sempat menjadi keraguan Pemerintah Aceh terkait dengan adaptasi budaya lokal. Namun sejarah membuktikan sebaliknya, inisiatif dari kebutuhan nyata masyarakat akan mobilitas yang terjangkau dan teratur yang menjadi pendorong utamanya.
"Sampai saat ini, masyarakat Alhamdulillah percaya, trust dengan adanya Trans Koetaradja yang sudah membantu mereka mobilisasi di Aceh," ungkap Rizky selaku Sekretaris Dinas Perhubungan Provinsi Aceh, yang menjadi kalimat kunci yang menggambarkan dukungan publik. Kepercayaan ini menjadi fondasi bagi pemerintah provinsi untuk terus meningkatkan layanan, terus berkolaborasi dengan Kementerian Perhubungan melalui Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas II Provinsi Aceh, di mana rapat koordinasi rutin diselenggarakan secara berkala untuk mengevaluasi dan merencanakan pengembangan rute.
Jaringan Luas Hingga Menyentuh Layanan Rekreasi
Trans Kutaraja kini telah menjelma menjadi tulang punggung mobilitas dengan melayani sedikitnya 10 hingga 12 rute atau koridor utama. Rute-rute ini dirancang untuk menghubungkan sentra-sentra keramaian, mulai dari kawasan Kampus Darussalam (Unsyiah dan UIN Arraniry) yang merupakan basis pergerakan mahasiswa hingga tengah kota. Keberlanjutan rute ini memastikan akses yang mudah bagi pelajar, pekerja, dan masyarakat umum, menciptakan konektivitas yang efektif di dalam ibu kota provinsi.
Beberapa koridor vital yang beroperasi antara lain Koridor 1 (Darussalam - Masjid Raya Baiturrahman) yang menghubungkan pusat pendidikan dan agama serta rute yang menjangkau wilayah pesisir seperti Ulee Lheu dan Lampuuk.
Menariknya, Aceh memiliki Trans Meudiwana merupakan layanan feeder Trans Koetaradja yang dikhususkan untuk melayani perjalanan masyarakat ke tempat-tempat wisata yang ada di Banda Aceh dan Aceh Besar. Program hasil kolaborasi dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh ini beroperasi setiap akhir pekan, melayani dua rute dengan dua unit bus berukuran sedang. Trans Kutaraja memiliki layanan rekreasi khusus di mana setiap hari Minggu terdapat rute menuju objek wisata populer Pantai Lampuuk. Layanan ini diberikan secara gratis, menjadikannya pilihan favorit masyarakat untuk berlibur tanpa perlu memikirkan biaya transportasi. Rute khusus ini sengaja didesain untuk melewati keunikan kota, termasuk rute pasar yang khas, memberikan pengalaman wisata kota yang berbeda bagi penumpang.
Dalam upaya mengikuti modernisasi transportasi nasional, Trans Kutaraja telah menerapkan sistem tap on bus (tapping) atau cashless payment untuk transaksi. Perkembangan ini memiliki tantangan unik di Aceh karena dominasi dua bank lokal yaitu Bank Aceh (Bank Aceh Syariah/BAS) dan Bank Syariah Indonesia (BSI).
Dari Perintis Menjadi Komersial: Strategi Konektivitas Berkelanjutan BPTD Kelas II Aceh
Beranjak dari pengelolaan transportasi di sektor pemerintah provinsi ke level pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan dengan adanya Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas II Aceh yang tengah melakukan upaya evaluasi dan rekayasa ulang terhadap jaringan angkutan yang ada, khususnya dalam konteks angkutan perintis. Kebijakan ini didasarkan pada prinsip efisiensi anggaran negara dan kebutuhan akan konektivitas yang berkelanjutan di seluruh wilayah Aceh.
Rute perintis yang disubsidi pemerintah untuk melayani daerah terpencil atau minim permintaan harus diubah statusnya menjadi komersial begitu mencapai tingkat permintaan tertentu. Tingkat demand yang dianggap ideal untuk transformasi ini adalah ketika okupansi sudah berada di kisaran 60%. Angka ini mengindikasikan bahwa jalur tersebut sudah mulai menjanjikan secara ekonomi dan mampu menarik operator swasta, sehingga subsidi negara dapat dialihkan ke wilayah lain yang lebih membutuhkan.
BPTD Kelas II Aceh menekankan pentingnya evaluasi berkala setiap 5 tahun sekali untuk rute angkutan perintis. Hal ini krusial mengingat adanya keterbatasan anggaran negara untuk terus menerus menyediakan layanan subsidi. "Hal itu menjadi tantangan bagi kami di BPTD, bagaimana kami mengupayakan keterjaminan konektivitas antar daerah tetap berjalan," ungkap Edwin selaku Kasubbag Tata Usaha BPTD Aceh yang mewakili Kepala BPTD. Oleh karena itu, BPTD Aceh sedang melakukan peninjauan mendalam terhadap trayek-trayek yang terdapat di Aceh.
Strategi utama BPTD dalam menjamin kesinambungan layanan adalah melalui bargaining yang bertujuan untuk mengubah status perintis menjadi komersial di titik-titik dengan demand yang sudah matang. Selain mengelola angkutan perintis, BPTD Aceh juga aktif dalam pengawasan angkutan komersial, seperti Angkutan Kota Antar Provinsi (AKAP) di Terminal Tipe A Batoh. Dalam mengelola Perusahaan Otobus (PO Bus) yang beroperasi di Terminal Batoh pihak BPTD terus berkoordinasi secara intensif dengan Direktorat Angkutan Jalan Ditjen Perhubungan Darat untuk memastikan pengawasan dan penegakan regulasi perizinan berjalan efektif yang mengutamakan keselamatan dan keamanan bersama.
Di sisi pembinaan, BPTD secara rutin mengadakan sosialisasi terkait perizinan dan memberikan bimbingan penyusunan dokumen Sistem Manajemen Keselamatan (SMK). Fokus sosialisasi ini meliputi angkutan orang, angkutan dalam trayek, dan angkutan barang, menunjukkan komitmen BPTD terhadap aspek keselamatan dan legalitas operasional.
Untuk wilayah perairan, BPTD Aceh turut menyubsidi layanan penyeberangan untuk menjamin mobilitas antar pulau. Dua kapal yang disubsidi oleh BPTD Aceh di antaranya:
1.ASDP Cabang Singkil (KMP Aceh Hebat 3) dengan lintasan: Singkil – Pulau Banyak dan Pulau Banyak – Sinabang.
2.ASDP Cabang Banda Aceh (KMP Papuyu) dengan lintasan: Ulee Lheue – Lamteng dan Ulee Lheue – Seurapong.
Dukungan ini menegaskan peran BPTD dalam memastikan bahwa konektivitas tidak hanya terbatas pada jalur darat, tetapi juga mencakup akses laut bagi masyarakat di Kepulauan Aceh.
Konektivitas Antarwilayah di Lhokseumawe dengan KA Perintis Cut Meutia
Tidak hanya dari sektor transportasi darat, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) juga terus mengembangkan jaringan kereta api di Indonesia. Saat ini, pemerintah Indonesia secara aktif mendorong pembangunan dan pengembangan infrastruktur transportasi melalui skema pendanaan di luar APBN yaitu dengan pembiayaan kreatif seperti investasi swasta, KPBU, dan sebagainya, sebagai pendorong utama dalam pengembangan infrastruktur, terutama di sektor kereta api.
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Arif Anwar mengatakan,”Ada 5 perintis di 2025 yang sudah berjalan, pertama KA Cut Meutia, KA Lembah Anai, LRT Sumatera Selatan, KA Makassar Parepare, serta KA Bathara Kresna.” pada Press Background Konektivitas Antarwilayah untuk Pemerataan Ekonomi, di Jakarta, Senin (15/9).
Latar belakang KA Perintis Cut Meutia diluncurkan pertama kali pada 1 Desember 2013 dan kembali beroperasi sejak 2016, layanan ini hingga kini terus berjalan dengan dukungan Satuan Pelayanan Lhokseumawe yang berada di bawah Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Medan.
Saat ini layanan KRD Cut Meutia beroperasi sebagai kereta perintis pada lintas Stasiun Krueng Geukueh – Stasiun Bungkaih – Stasiun Krueng Mane dengan panjang sekitar 11,35 kilometer, yang merupakan bagian dari lintas Lhokseumawe – Bireuen. Sepanjang Januari hingga Agustus 2025, KA Perintis Cut Meutia telah melayani 30.527 penumpang dari total kapasitas 270.240 kursi, dengan tingkat okupansi rata-rata 11%.
Sebuah Sinergi Transportasi dan Pelestarian Sejarah
Perjalanan ke ujung barat Indonesia bisa disebut sebagai ekspedisi geografis dengan penelusuran terhadap konektivitas yang mempertemukan potensi pariwisata, denyut ekonomi lokal, dan warisan sejarah yang tersembunyi. Tujuan kami selanjutnya adalah Titik Nol Kilometer Indonesia yang ikonik, terletak di Pulau Sabang, sebuah pulau yang menjanjikan keindahan dan cerita.
Untuk memulai perjalanan ini, kami bertolak dari Pelabuhan Ulee Lheue tepat pada pukul 08.00 menggunakan Kapal KM. EXPRESS BAHARI 2F dengan tarif Rp125.000 per penumpang, perjalanan menuju Pulau Sabang terasa cepat dan efisien.
Di atas kapal kami berkesempatan berbincang dengan salah satu penumpang bernama Hendi. Beliau adalah seorang pengusaha perjalanan wisata (tour guide) yang berfokus pada turis lokal maupun mancanegara, dengan destinasi utama Titik Nol Kilometer, Pulau Weh, dan Kota Banda Aceh. Kehadiran fasilitas kapal yang memadai ini sangat membantu profesinya. “Kapalnya bagus dan cepat, di dalamnya nyaman untuk penumpang juga lengkap fasilitasnya. Sudah cukup bagus semuanya,” ungkap Hendi dengan antusias. Baginya fasilitas transportasi laut yang prima turut membantu perekonomian daerah.
Cerita Hendi adalah cerminan nyata bagaimana pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan hadir sebagai wujud Bakti Transportasi Untuk Negeri. Peran pemerintah tidak hanya sebatas menyediakan kemudahan konektivitas antarwilayah. Fasilitas transportasi laut yang memuaskan ini telah membuka dan menghidupkan peluang bisnis baru di sektor pariwisata. Peningkatan kualitas dan kecepatan layanan kapal ferry tidak hanya mempersingkat waktu tempuh tetapi juga memastikan kenyamanan dan keamanan penumpang. Hal ini secara langsung menciptakan ekosistem wisata yang lebih stabil dan menarik, sekaligus mendukung para pelaku usaha kecil dan menengah seperti Hendi.
Setelah menyelesaikan kunjungan kami di Titik Nol Kilometer, perjalanan berlanjut dengan misi yang lebih menyenangkan dengan bertolak ke sebuah pulau yang bernama Breueh atau juga dikenal sebagai Pulau Beras. Perjalanan menuju Pulau Breueh ini membutuhkan waktu tempuh yang jauh lebih lama, yaitu sekitar 3 sampai 4 jam menggunakan kapal dari Sabang. Dalam kesempatan ini, kami mendapat kehormatan didampingi oleh Tim dari Kantor Disnav Kota Sabang yang memastikan keselamatan pelayaran di perairan tersebut.
Pulau Breueh menyimpan harta karun sejarah dengan adanya Menara Mercusuar Willem's Torrent III. Mercusuar ini tidak hanya berdiri tegak sebagai penunjuk jalan bagi kapal-kapal yang melintas, tetapi juga merupakan peninggalan Belanda yang berusia ratusan tahun. Menara mercusuar dengan desain dan usia serupa ini disebut hanya ada tiga di dunia, menjadikannya situs yang sangat penting dari sudut pandang sejarah navigasi global. Kehadiran Tim Disnav Kota Sabang dalam menemani perjalanan kami semakin menegaskan peran vital sektor transportasi laut, tidak hanya dalam urusan pariwisata, tetapi juga dalam pemeliharaan sarana navigasi yang menjadi saksi bisu kejayaan maritim masa lalu.
Keberhasilan Trans Koetaradja yang lahir dari kepercayaan masyarakat dan strategi berkelanjutan BPTD Kelas II Aceh dalam mengelola rute perintis, menunjukkan bahwa tantangan geografis Indonesia dapat dijawab dengan inovasi dan kolaborasi. Konektivitas di Aceh bukan hanya memfasilitasi mobilitas harian tetapi juga menjadi ekonomi dan pariwisata. Perjalanan tim ke Titik Nol Kilometer dan eksplorasi warisan sejarah navigasi di Pulau Breueh melalui Mercusuar Willem's Torrent III semakin mengukuhkan bahwa Bakti Transportasi Untuk Negeri adalah upaya menyeluruh yang menghubungkan, menghidupkan, dan melestarikan potensi Indonesia dari ujung barat. Seluruh upaya ini menegaskan kembali komitmen pemerintah dalam menciptakan sistem transportasi yang selamat, aman, dan nyaman serta menjamin bahwa setiap jengkal Nusantara terangkai dalam satu kesatuan yang utuh. (LOL-HG-ME)