(Jakarta, 30/7/2012) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan telah menyelesaikan pelaksanaan uji petik kesiapan Angkutan Laut di sepuluh pelabuhan di Indonesia. Hasilnya, masih banyak operator kapal sebagai penyedia jasa maupun masyarakat sebagai pengguna jasa, masih belum menyadari pentingnya keselamatan selama dalam pelayaran.
Uji petik dilaksanakan oleh tim yang terdiri dari Marine Inspector kantor pusat dan Kantor Adpel setempat yang melakukan pemeriksaan keselamatan secara acak terhadap 31 kapal penumpang, kapal penyeberangan serta Ro-Ro Ferry.
Adapun kesepuluh pelabuhan yang dilakukan uji petik adalah Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta), Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya), Pelabuhan Makassar dan Pare-Pare (Sulawesi Selatan): Pelabuhan Merak (Banten) Pelabuhan Tanjung Emas (Semarang), Pelabuhan Trisaksi (Banjarmasin), Pelabuhan Batam, Pelabuhan Lembar (Mataram) dan Pelabuhan Semayang (Balikpapan).
Kepala Sub Bagian Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Sindu Rahayu dalam siaran persnya, Senin (30/7) mengatakan, dalam pelaksanaan uji petik, tim menemukan beberapa pelanggaran atau kekurangan pemenuhan terhadap standar keselamatan kapal yang bersifat minor. Untuk itu tim telah memberikan sejumah catatan dan rekomendasi untuk perbaikan ataupun untuk segera melengkapinya.
Sebagai contoh, masih ditemukan kapal-kapal yang dalam penempatan dan pemasangan rakit penolong kembung (Inflatable Liferaft), tidak dilakukan sesuai prosedur penempatannya. Misalnya pada pemasangan tali painter dan HRU (Hydrostatic Release Unit) dilakukan kurang benar, penahan dudukan rakit (Cradle stopper) yang sudah tidak dapat digerakan dan dibuka akibat karat, dan juga ditemukan beberapa tali painter yang hilang.
Terhadap pelanggaran yang ditemukan, tim uji petik memerintahkan untuk dilakukan perbaikan pada saat itu juga.Selain kekurangan tersebut diatas, ditemukan juga kekurangan pada beberapa kapal dimana tombol alarm pemadam kebakaran yang dihidupkan secara manual (Fire alarm manual activation), tidak dapat dihidupkan. Serta tidak berfungsinya alat pendeteksi kebakaran (Fire Detector) yang disebabkan oleh setting yang tidak tepat (tidak direset kembali setelah pendeteksian terakhir).
Di beberapa kapal lainnya ditemukan juga bahwa motor Sekoci (Life Boat motor) tidak dapat dihidupkan dikarenakan motor-motor tersebut dalam proses perawatan. ‘’Namun demikian, dikarenakan sekoci-sekoci tersebut memiliki dayung (Boat oar), maka tim uji petik masih memberikan toleransi untuk kapal-kapal tersebut tetap melakukan perjalanannya dengan catatan bahwa tim uji petik memerintahkan pada operator kapal untuk segera memperbaiki dan memasang kembali motor-motor sekoci tersebut pada kesempatan pertama,’’ jelas Sindu.
Selama pemeriksaan uji petik, diketahui juga bahwa beberapa pelanggaran yang sengaja dilakukan oleh operator kapal adalah sebagai tindakan antisipasi operator kapal untuk mencegah pencurian dan hilangnya alat keselamatan diatas kapal oleh ulah pengguna jasa yang tidak bertanggung jawab.
Sebagai contoh, ditemukan jaket penolong (life jacket) yg dikumpulkan pada satu tempat (lemari) yang dikunci dan tidak berada dekat dengan posisi penumpangnya, dikarenakan kekhawatiran operator kapal terhadap pencurian yang dilakukan oleh penumpang. Hal ini sesuai dengan temuan bahwa beberapa lampu jaket penolong (life jacket light) juga ditemukan hilang.
Selain jaket penolong, peralatan pemadam kebakaran seperti nozzle air hidran dan sambungan selang ke hidran yang tidak berada di kotak pemadam kebakaran (fire hose box). Hal ini juga disebabkan kekhawatiran operator kapal bahwa material-material yang terbuat dari kuningan tersebut dapat dan sering dicuri oleh penumpang kapal.
Begitu pula dengan tali painter rakit penolong yang hilang dan terpotong dimana hal tersebut dicurigai dilakukan oleh oleh penumpang.Untuk ketiga pelanggaran tersebut di atas, dihimbau kepada seluruh pengguna jasa untuk ikut berpartisipasi dalam menjaga peralatan keselamatan diatas kapal dan sekaligus menyadarkan para pengguna jasa bahwa terwujudnya keselamatan kapal dan pelayaran sebagai suatu keadaan terpenuhinya persyaratan minimal keselamatan, bukan hanya merupakan tanggung jawaboperator/pemilik kapal ataupun pemerintah (regulator) tetapi juga merupakan pengguna jasa (user) sebagai bagian dari tanggung jawab bersama.
Pemerintah mengharapkan agar penyelenggaraan keselamatan pelayaran bukan hanya dalam bentuk penanganan musibah yang bersifat represif saja melainkan juga harus dilakukan pada tindakan-tindakan pencegahan (preventif) yang terkelola sehingga penyelenggaraan transportasi laut dapat terwujud sesuai dengan program tercapainya Zero Accident yang telah dicanangkan oleh Kementerian Perhubungan. (JO)