(Jakarta, 2/7/2012) “Mengurai kemacetan lalulintas maupun memberdayakan angkutan massal memerlukan teknologi informasi,”kata Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kementerian Perhubungan Sugihardjo disela-sela kegiatan Intelligent Transport System (ITS) Seminar in Indonesia di Hotel Pullman, Jakarta (28/6/2012).
Intelligent Transport System adalah penerapan teknologi informasi dan komunikasi di bidang transportasi yang diterapkan baik di infrastruktur maupun di kendaraannya itu sendiri. Diharapkan dengan penerapan itu akan menghasilkan sistem transportasi yang lebih handal, lebih efisien, lebih berkeselamatan dan lebih pro-lingkungan.
Pemanfaatan teknologi informasi di bidang transportasi sudah diterapkan negara-negara maju. Jepang termasuk salah satu negara yang mengembangkan ITS. Salah satu contohnya adalah Electronic Toll Collection (ETC). Sugihardjo mengatakan, “Beberapa waktu lalu Pak Dahlan Iskan marah-marah karena antrian dipintu tol sangat panjang, itu terjadi salah satu sebabnya karena kita masih pakai sistem manual. Sekarang sudah ada layanan yang lebih baik dengan e-ticketing, cukup ditempelkan saja di touch screen, sudah terbaca. Akan lebih baik lagi kalau tidak harus ditempelkan. Di kendaraan itu ada suatu alat, dan di gate itu juga ada alat sehingga dengan lewat saja, informasi yang dibutuhkan sudah bisa tersampaikan.
Sekarang teknologi yang banyak berkembang adalah RFID (Radio-frequency Identification), jadi kendaraan tidak perlu berhenti namun hanya memperlambat kecepatannya saja ketika lewat di toll gate. Namun ke depan di beberapa negara maju sudah dikembangkan teknologi yang lebih advance, bukan lagi RFID tapi DSRC (Dedicated Short-Range Communications). “Dengan menerapkan teknologi ini ada 2 manfaat penting, yang pertama biaya investasi dan operasional lebih murah. Yang kedua aplikasinya lebih menguntungkan karena kalau misalnya RFID kendaraan harus bergera per-line dan memperlambat kecepatannya. Tapi kalau dengan DSRC, kendaraan bisa bergerak pararel, multi-line dan kecepatan yang lebih tinggi,” jelasnya.
Untuk mendukung teknologi DSRC ini syarat utamanya adalah harus ada frekuensi khusus yang tidak digunakan untuk kepentingan lain, khusus untuk kepentingan lalu lintas. Dan kesepakatan standard eropa dan amerika ada di spektrum 5,9 GHz. Jepang yang tadinya 2,8 GHz sekarang juga mengikuti ke 5,9 GHz.
ITS adalah satu metode untuk melakukan optimasi kapasitas. Jika penambahan jumlah jalan tidak bisa mengikuti laju pertumbuhan kendaraan, ITS bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kemacetan lalu lintas disamping tentu kebijiakan yang berpihak kepada angkutan massal tetap harus dikembangkan.
“Tantangan terberat adalah bahwa kita harus memiliki persepsi yang sama untuk mengembangkan ITS dan ini tidak bisa domainnya Kementerian Perhubungan saja tetapi harus multi stakeholders. Dan bukan hanya pemerintah tapi juga dari industri, akademisi serta masyarakat,” kata Sugihardjo. (CAS)