(Jakarta, 21/6/2013) Ratifikasi Konvensi Beijing Tahun 2010 tentang Penindakan terhadap Perbuatan Melanggar Hukum yang Berhubungan dengan Penerbangan Sipil Internasional perlu dilakukan kajian yang lebih dalam serta dilakukan dengan lebih hati-hati dan bijak dalam menyikapi beberapa pasal di dalamnya. Demikian rekomendasi yang dihasilkan dari acara Round Table Discussion (RTD) dengan tema Urgensi Melakukan Ratifikasi Konvensi Beijing Tahun 2010 tentang Penindakan terhadap Perbuatan Melanggar Hukum yang Berhubungan dengan Penerbangan Sipil Internasional  (The Beijing Convention of 2010 on The Suppresion of Unlawful Acts Relating to International Civil Aviation) di Badan Litbang Perhubungan, Kamis (20/6).

 
M. N. Nurrasyid, Peneliti Madya, Badan Litbang Perhubungan Udara menjelaskan Konvensi Beijing 2010 ini akan mewajibkan negara penandatangan untuk mengkriminalisasi sejumlah bentuk ancaman/kejahatan yang baru termasuk menggunakan pesawat sebagai senjata. Konvensi ini juga menambahkan pasal-pasal untuk meningkatkan kerjasama antara negara-negara dalam memerangi terorisme terhadap penerbangan sipil . “Tentu saja dilakukan dengan tetap menjunjung hak asasi manusia dan perlakuan yang adil bagi para pelaku teroris,” tegasnya.
 
Nurrasyid juga menjelaskan konvensi tersebut memperkuat upaya negara-negara dan memastikan bahwa bahan-bahan yang sangat berbahaya seperti biologi, kimia, dan senjata nuklir tidak akan diangkut dengan pesawat udara sipil untuk tujuan terlarang. Serta untuk meningkatkan kerjasama internasional untuk memberantas aksi terorisme pada penerbangan sipil.
 
“Dengan adanya Beijing Convention 2010, pelaku kejahatan terhadap penerbangan sipil khususnya aksi teror dapat dihukum dengan seberat-beratnya,” ujarnya.  
 
Menanggapi rencana pemerintah untuk melakukan ratifikasi konvensi tersebut, Jaya Tahoma Sirait, Kepala Biro Hukum PT. Angkasa Pura II menyatakan dukungannya.  Jaya menambahkan, “Seharusnya bandar udara juga dimasukkan ke dalam konvensi tersebut” . Karena menurutnya bandar udara adalah garda terdepan sebelum penumpang masuk ke pesawat. Senada dengan Jaya, Nababan dari Federasi Pilot Indonesia juga menyatakan perlu dilakukan pengamanan yang maksimal di bandara termasuk akses ke pesawat. Dengan demikian, tambahnya, pesawat tidak bisa digunakan sebagai alat untuk mengancam keamanan penerbangan.
 
Namun, Adhy Riadhy Arafah, Dosen Universitas Airlangga yang juga menjadi pembicara dalam RTD tersebut menyatakan masih ada beberapa pasal di dalam Konvensi Beijing 2010 yang masih belum jelas dan dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. “Dalam pasal 1 disebutkan orang yang dianggap turut dalam tindakan terorisme, pertanyaannya adalah apa pengertian terorisme? Dan siapa saja yang dianggap teroris atau organisasi terorisme?,” tanyanya. Adhy menyatakan, jika tidak  ada pengertian yang jelas, maka semua orang dapat dikatakan sebagai teroris dan konvensi tersebut dijadikan celah untuk melakukan sesuatu atas nama undang-undang.
 
Pernyataan tersebut diamini oleh Tengku Burhanudin, Setjen INACA. Tengku menyatakan ratifikasi Konvensi Beijing 2010 perlu dilakukan dengan hati-hati karena hal tersebut dapat dimanfaatkan satu negara untuk menyerang negara lain dengan menggunakan alasan terorisme.
 
Konvensi Beijing 2010 merupakan perubahan/tambahan dari Tokyo Convention 1963 tentang “Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft” (Pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-tindakan tertentu lainnya yang dilakukan dalam pesawat udara).
 
Saat ini, negara yang telah meratifikasi Konvensi Beijing 2010 adalah Republik Dominika dan Mali. Sedangkan negara yang telah menandatangani Perumusan Beijing Convention adalah Australia, Indonesi,a, Benin, Burkina Faso, Kamerun, Chad, Cina, Cyprus, Costa Rica, Perancis, Republik Chez, Gambia, Guyana,Meksiko, Myanmar, Nepal, Panama, Paraguay, Korea Selatan, Senegal, Saint Lucia, Uganda, Spanyol, Togo, Inggris, dan Amerika Serikat.  (RY)