(Jakarta, 3/4/2013) Pemerintah memproyeksikan dua komoditas, yakni batubara dan crude palm oil (cpo) yang bisa diangkut kapal-kapal nasional dalam rangka menerapkan beyond cabotage ( muatan ekspor impor  diangkut kapal-kapal dari  negara pemilik muatan).

Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Laut , Kementerian Perhubungan, Capt. Bobby R. Mamahit, penerapan  beyond cabotage sudah   ada dalam road map untuk pelaksanaannya, setelah selama ini pemerintah berhasil menerapkan azas cabotage (muatan dalam negeri diangkut kapal-kapal dari dalam negeri sendiri).

“Untuk mendukung penerapan  beyond  cabotage, maka harus ada prioritas terhadap komoditas yang akan diangkut. Saat ini komoditas nasional yang banyak dikirim ke luar negeri seperti batu bara dan cpo menjadi yang paling bisa diproyeksikan untuk diangkut kapal-kapal bendera Merah Putih,” ungkap Bobby R. Mamahit, pada acara pressbackground, di kantornya,  Rabu (3/4).

Lebih jauh diungkapkan,  agar batubara bisa diangkut kapal-kapal nasional, maka pembahasan selanjutnya menyangkut kesiapan perusahaan pelayaran nasional terhadap ketersediaan kapal yang siap untuk mengangkut kedua muatan itu untuk  ekspor.

Upaya pemerintah memberdayakan industri pelayaran nasional terlihat sejak terbitnya Inpres No 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Inpres tersebut mengamanatkan 13 kementerian, pemerintah di tingkat daerah, dan BUMN untuk membuat kebijakan yang mendukung industri.

Sejumlah kebijakan dari berbagai kementerian pun terbit dalam rangka memberdayakan industri pelayaran nasional. Kementerian Perhubungan sudah menerbitkan 9 Peraturan Menteri Perhubungan terkait dengan  inpres tersebut.

Dari sisi kemampuan pelayaran nasional untuk mengangkut muatan juga terlihat dengan keberhasilannya mengangkut muatan dalam negeri sebanyak 98, 70 % pada tahun 2013, dari sebelum terbitnya inpres tersebut yang hanya mampu mengangkut muatan sekitar 55 % setiap tahunnya.

Direktur Lalu Lintas Angkutan Laut, Ditjen Hubla, Adolf R. Tambunan menyatakan,  dasar  Ditjen Hubla menerapkan  beyond cabotage karena dua hal, yakni kesuksesan menerapkan azas cabotage di dalam negeri dan  pelayaran nasional belum kompetitif mengangkut muatan dari dalam negeri ke luar negeri.

“Akibat dari muatan ekspor impor kita diangkut kapal-kapal asing , maka terjadi defisit dari  jasa angkutan laut ekspor impor setiap tahunnya mencapai US $ 10 miliar,” ungkap Adolf Tambunan.

Adolf juga menyatakan,  penetapan jenis muatan yang diangkut kapal nasional ke luar negeri dilakukan secara bertahap. Adanya prioritas muatan batu bara dan cpo yang akan diproyeksikan untuk diangkut kapal-kapal nasional ke luar negeri itu, terkait karena  kedua komoditas ini merupakan komoditas yang ada di Indonesia dan kuantitasnya paling besar untuk di ekspor, sehingga peluang tawar agar muatan yang diekspor untuk diangkut kapal berbendera Merah Putih sangat besar.

“Setelah kedua komoditas itu, bisa saja selanjutnya komoditas lainnya. Dan juga melihat kesiapan armada nasional. Jangan sampai setelah ditetapkan komoditas tertentu untuk diangkut kapal-kapal nasional untuk ekspor, tetapi kapalnya tidak tersedia, maka akan jadi bumerang pada kegiatan ekspor nasional,” ungkap adolf.

Atas kedua muatan yang akan diangkut oleh kapal nasional itu, Adolf juga menyatakan, skenario yang akan diusulkan kepada Kementerian Perdagangan berupa adanya prosentase tertentu pada kedua muatan ekspor itu untuk diangkut kapal-kapal nasional. Misalnya, jika ada sekitar muatan batu bara sebesar 500  ton untuk ekspor, maka kita bisa usulkan  sekitar 30 % untuk diangkut kapal-kapal nasional.

“Jadi  tahap awal  pengangkutan  dengan kapal nasional dilakukan secara bertahap dan seterusnya ditingkatkan, dilihat dari kemampuan armada nasional mengangkutnya,” ungkap Adolf.

Atas  rencana penerapan beyond cabotage, Kementerian Perdagangan juga sudah mendukung melalui adanya pendatanganan kesepakatan kerjasama dengan  asosiasi dan KADIN  tentang skema ekspor yang menggunakan Cost Insurance and Fright (CIF)  dari sebelumnya FOB (Fright On Board). Dengan skema CIF, maka pemilik  barang di dalam negeri mempunyai posisi untuk menentukan angkutan pada barang yang akan dikirim ke luar negeri. (AB)