(Jakarta, 6/5/10) Pemerintah Indonesia dan Jepang bersepakat untuk meningkatkan kualitas perjanjian bilateral kedua negara dalam hal kerjasama angkutan udara yang telah dibangun sebelumnya. Sedikitnya ada lima poin pokok yang dihasilkan dari pertemuan yang digelar medio April 2010 tersebut. Salah satunya adalah penambahan hak penerbangan dari dan menuju masing-masing negara sebanyak 75 unit per minggu, dari sebelumnya 37,3 unit per minggu.

”Setiap unit kapasitasnya setara dengan pesawat jenis Boeing 737 seri 300 maupun seri 400. Tetapi kalau yang digunakan Boeing 777, itu akan dihitung 1,5 unit. Demikian juga kalah dengan pesawat yang kapasitas lebih kecil, maka bisa dihitung 0,5 unit,” jelas Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Tri S Sunoko di Jakarta, Rabu (5/5). Kesepakatan penambahan frekuensi hak terbang itu berlaku untuk kategori hak angkut ketiga dan keempat (third and fourth freedom traffic rights). Yaitu hak untuk mengangkut penumpang dan barang dari negara asal ke negara tujuan, dan hak angkut dari negara tujuan kembali ke negara asal.

Pokok perundingan kedua, lanjut Tri, adalah penambahan slot time (celah waktu singgah). Jepang memberikan Indonesia jatah singgah sebanyak 14 kali dalam seminggu. Sebanyak 7 slot per minggu diberikan Jepang bagi maskapai Indonesia untuk singgah di Bandara Narita, Tokyo, yang sebelumnya sulit diperoleh karena terbatasnya kapasitas yang dimiliki salah satu bandara terpadat di Jepang itu.

”Sedangkan untuk bandara-bandara lain, Jepang memberikan unlimited traffic right. Sebagai timbal balik kita membuka 5 bandara utama, juga dengan fitur unlimited traffic right sesuai KM 11/2010 tentang Tata Kebandarudaraan,” imbuhnya. Kelima bandara itu adalah Soekarno-Hatta Jakarta, Juanda Surabaya, Sultan Hasanuddin Makassar, Polonia Medan, serta Ngurah Rai Bali.

Kemudian, lanjut dia, untuk pembahasan terkait hak angkut kelima, Indonesia dan Jepang juga menyepakati untuk tidak mengubah komitmen apa pun yang telah dibangun sebelumnya terkait hal tersebut. ”Khusus untuk fifth freedomrights,akan dibahas pada pertemuan bilateral selanjutnya. Sedangkan untuk penentuan tarif ada perubahan kebijakan, dari yang semula double approval menjadi country of origin. Yaitu dari sebelumnya harus berdasarkan kesepakatan kedua negara, sekarang cukup ditetapkan sepihak negara asal pemberangkatan,” ujar Tri.

Sementara pokok kesepakatan terakhir adalah terkait faktor keselamatan penerbangan. Untuk poin ini, menurut Tri, masing-masing negara menyepakati bahwa standar keselamatan penerbangan disesuaikan masing-masing otoritas penerbangan. (DIP)