(Jakarta, 8/8/2014) Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kementerian Perhubungan Capt. Bobby R Mamahit dan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Inggris, Teuku Mohammad Hamzah Thayeb, memimpin rapat antar instansi untuk membahas tentang pedoman perjanjian bilateral/regional terkait tanggung jawab dan ganti rugi pencemaran laut lintas batas Negara akibat dari aktivitas eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai, pada Kamis (7/8/2014).
Dalam rapat tersebut hadir perwakilan dari berbagai instansi seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait lainnya.
Pedoman ini nantinya akan diusulkan dalam sidang Legal Committee International Maritime Organization (IMO) ke 102 sekitar bulan April 2015 di London untuk dijadikan negara-negara dalam membuat perjanjian.
"Rapat antar instansi ini untuk mencari sebuah formula guidelines yang mengatur tentang tanggung jawab dan ganti rugi terjadinya pencemaran laut akibat kegiatan pengeboran minyak di lepas pantai," kata Capt. Bobby R Mamahit.
Isu tentang perlunya satu aturan tentang tanggung jawab dan ganti rugi pencemaran laut akibat kegiatan pengeboran lepas pantai telah diwacanakan dalam sidang-sidang IMO sejak tahun 2010. Bahkan pada Sidang Legal Commitee (LEG) ke 101 pada 28 April hingga 2 Mei 2014 di London, pemerintah Indonesia kembali menyampaikan statement agenda usulan Indonesia mengenai Liability and Compensation Issues Connected with Transboundary Pollution Damage from Offshore Oil Exploration and Exploitation Activities. Statement tersebut intinya berisi tentang ungkapan kekecewaan terhadap perkembangan usulan Pemerintah Indonesia terkait hal itu yang telah disampaikan sejak tahun 2010.
“Upaya mewujudkan satu panduan yang disepakati dan menjadi acuan secara internasional seperti tentang penanggulangan dan ganti rugi pencemaran laut akibat aktivitas pengeboran lepas pantai memang memakan waktu yang panjang. Meskipun demikian, saat ini sudah ada beberapa negara anggota IMO yang setuju dengan gagasan pemerintah Indonesia ini,” kata Capt. Bobby R Mamahit.
Panduan tesebut sangat penting sebagai satu acuan hukum bilamana terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam kegiatan pengeboran minyak yang berakibat kepada pencemaran laut. Perlunya panduan juga terkait pengalaman Indonesia dalam menangai kasus pencamaran laut Timor oleh kilang minyak Montara yang sudah memakan waktu sekitar lima tahun dan belum ada tanda-tanda kesefahaman diantara negara yang terkait dengan persoala tersebut. Permasalahan utama berlarut-larutnya penyelesaian kasus Montara adalah karena tidak ada satu aturan yang menjadi acuan dan yang disepakati bersama.
“Seandainya nanti ada sebuah peraturan yang disepakati bersama secara internasional, maka semua negara akan mengacu kepada aturan tersebut. Dan nanti kita tinggal mengurusi persoalan administrasinya saja,” kata Capt. Bobby R Mamahit.
Langkah Awal
Dubes RI untuk Kerajaan Inggris Raya dan Republik Irlandia, serta Perwakilan Tetap Pemerintah Indonesia pada IMO, Teuku Mohammad Hamzah Thayeb pada kesempatan itu mengatakan, rapat antar intansi pemerintah itu sebagai langkah awal dalam upaya pemerintah Indonesia menghasilkan sebuah peraturan internasional yang bisa menjawab persoalan penanggulangan dan ganti rugi bila terjadi pencemaran di laut lepas sebagai akibat pengeboran minyak.
“Intinya pertemuan ini untuk menghasilkan satu persepsi yang sama diantara kita terkait persoalan itu. Sehingga ketika nanti kita usulkan dalam sidang IMO, sudah tidak ada persoalan di dalam negeri terkait isi usulan peraturan tersebut,” kata Hamzah Thayeb.
Duta Besar Hamzah Thayeb mengatakan, aturan secara internasional ini sangat penting untuk mengantisipasi kejadian pencemaran laut seperti kasus meledaknya kilang minyak Montara pada sekitar Agustus 2009 lalu. “Banyak negara yang memang masih belum setuju tentang perlunya aturan seperti yang diusulkan oleh pemerintah Indonesia. Tetapi dengan kegigihan kita semua, saat ini sudah ada beberapa negara yang setuju dan satu ide dengan Indonesia,” kata Hamzah Thayeb.
Beberapa negara delegasi sidang IMO ke-101 diantaranya Iran, Filipina, Malaysia, dan Denmark telah menyampaikan dukungannya dan mendesak agar IMO tetap membahas agenda tersebut dengan disertai langkah-langkah yang lebih konkret. Negara-negara itu juga mendorong pembentukan guidance dan information sharing tentang model bilateral/regional arrangement atau agreement.
Rapat tersebut akan menghasilkan beberapa program kerja yang segera ditindaklanjuti dan kemudian disepakati untuk segera membentuk Kelompok Kerja (Pokja) yang melibatkan berbagai intansi terkait. Dalam kegiatannya, Pokja juga akan melibatkan selain instansi pemerintah juga melibatkan para akademisi.
Selanjutnya Pokja akan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan para pelaku usaha dan ahli hukum di bidang maritime. Hasil FGD tersebut kemudian dibawa ke FGD bersama Negara-negara yang sepaham/mendukung Indonesia untuk menyusun guidelines tersebut yang rencananya akan dilaksanakan pada Oktober 2014 di London. Kemudian hasil FGD bersama Negara-negara pendukung tersebut dibawa ke Inter-Sessional Consultative Group Meeting sekitar bulan Desember 2014 dan dibahas di sela-sela sidang IMO di London. (PST)