(Jakarta, 10/2/2010) Maskapai penerbangan nasional dimungkinkan mengenakan biaya tambahan (surcharge) kepada penumpang apabila terjadi perubahan yang signifikan yang dapat memengaruhi kelangsungan kegiatan angkutan udara, ketika standar tarif batas atas angkutan udara yang baru direalisasikan. Syaratnya, perubahan tersebut memberikan pengaruh terhadap biaya operasi pesawat udara minimal 20 persen dalam kurun 3 bulan berturut-turut, antara lain yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar, perubahan harga bahan bakar, dll.
”Misalnya harga avtur melonjak tajam, maskapai bisa mengenakan surcharge jika kondisinya sesuai dengan persyaratan tersebut. Minimal, sebut saja, kenaikannya mencapai Rp10.000 per liter. Tetapi, besaran surcharge-nya kita (pemerintah) yang tentukan. Tidak lagi oleh maskapai secara bebas seperti sebelumnya,” terang Dirjen Perhubungan Udara Herry Bakti S Gumay dalam acara press background yang membahas tentang rencana penerapan batasan baru tarif angkutan udara ekonomi, di Jakarta, Rabu (10/2).
Dikemukakan Dirjen, pengenaan biaya tambahan atas bahan bakar (fuel surchage) untuk penumpang udara kelas ekonomi, ke depan, tidak lagi dipungut terpisah oleh operator penerbangan untuk kemudian digabungkan dan menjadi nilai jual yang harus ditebus penumpang. Tetapi, komponen tersebut akan dimasukkan ke dalam pengenaan tarif bersamaan dengan komponen lain yang sebelumnya di pungut terpisah dari tarif jarak. Kemudian, nilai-nilai penggabungan dari beberapa komponen tersebutlah yang akan menjadi nilai akhir maksimal dari tarif yang harus dibayarkan penumpang.
Sebagai contoh, untuk rute Jakarta-Jogjakarta, batas atas tarif lama yang dipatok sebesar Rp 560 ribu. Namun, harga akhir yang harus ditebus oleh penumpang untuk tujuan tersebut bisa mencapai hingga kisaran Rp 1 juta. Karena, di luar tarif tertinggi yang dikenakan, operator mengenakan lagi biaya tambahan untuk bahan bakar yang besarannya tidak seragam antara satu maskapai dengan maskapai lain, serta pajak pertambahan nilai (PPn).
Dengan ketentuan lama itu, menurut Herry, seolah-olah tidak ada pembatasan yang diatur pemerintah. Surcharge menjadi komponen terbesar yang dikenakan operator, dan membuat harga tiket sangat tinggi. ”Tetapi ke depan, tidak ada lagi tambahan-tambahan, karena semua sudah disatukan. Besaran total tarif yang tercetak di tiket merupakan nilai akhir yang harus dibayar penumpang. Misalnya, untuk Jakarta-Jogja, batas atasnya Rp 1 juta, ya, sudah itu yang harus dibayar oleh penumpang,” jelasnya.
Herry menegaskan, penetapan batasan maksimal tarif angkutan baru yang merupakan revisi dari ketentuan lama tersebut, tidak akan menimbulkan perubahan tarif secara signifikan. Dengan kebijakan baru perhitungan tarif batas atas angkutan udara kelas ekonomi itu, prosentase tarif batas hanya akan berubah pada kisaran antara 5-10 persen dibandingkan sebelumnya.
”Tetapi ini kan batasan maksimal. Kalau prakteknya, belum tentu setiap saat tarif batas atas itu digunakan, karena maskapai pasti akan melihat demand. Kalau sepi tidak mungkin mereka pasang harga tinggi, pasti akan bermain di bawahnya,” lanjut dia.
Herry menambahkan, ditargetkan Maret mendatang revisi tarif batas atas tersebut akan diberlakukan. Batasan pengenaan tarif tertinggi itu akan disesuaikan dengan tiga jenis pelayanan jasa angkutan udara. Yaitu Full Service, di mana perusahaan angkutan niaga berjadwal yang menjalankan kegiatannya dengan standar maksimum; Medium Service, untuk maskapai yang menjalankan kegiatannya dengan standar menengah; serta kategori No Frilss, bagi maskapai yang menjalankan kegiatannya dengan standar minimum.
Defesiensi tarif itu sendiri, lanjutnya, juga akan dibagi berdasarkan jenis mesin pesawat. Yaitu pesawat bermesin jet untuk jarak terbang minimal 300 kilometer, serta non-jet (propeller) untuk penerbangan di bawah 400 kilometer. Herry menegaskan tidak akan ada perbedaan perlakuan bagi maskapai tertentu dalam perealisasian batasan tarif tersebut.
”Semua sama. Kita tidak akan beda-bedakan maskapai A atau B, lalu memberikan perlakuan khusus karena dia punya kelebihan. Semua harus ikuti aturan itu, sesuai dengan kategori jasa pelayanan yang dia pilih: full, medium, atau yang low. Saat ini masih dalam tahap sosialisasi. Kita masih butuh waktu sekitar satu bulan lagi untuk itu. Insya Allah, bulan depan, setelah ditandatangani Menhub, akan langsung direalisasikan,” pungkasnya. (DIP)