JAKARTA – Kemacetan kronis arus kendaraan di jalur Kawasan Puncak saat weekend maupun liburan panjang sudah menjadi tradisi, kendati sudah dibangun sejumlah pintu masuk/keluar di sepanjang jalur Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur). Upaya untuk mengurai kemacetan lalu lintas pun menjadi pekerjaan rutin yang terus dilakukan. Cara mengurai kemacetan kendaraan yang mengekor panjang berkilo-kilometer di jalur menuju kawasan Puncak masih menerapkan cara sistem buka tutup – pengaturan jam-jam naik dan turun ke/dari kawasan Puncak. Hingga saat ini belum ditemukan inovasi dan cara jitu mengatasi kemacetan di kawasan tersebut.
Keadaan sepanjang jalur Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur) yang menimbulkan kemacetan itu, berdampak terhadap meredupnya bisnis, UMKM kerajinan maupun kuliner serta sepinya berbagai obyek wisata di kawasan Puncak. Pengaturan lalu lintas yang selama ini dilakukan nampaknya harus dievaluasi dan diperbaharui dengan sistem baru yang lebih akomodatif. Kawasan Bopunjur masih memiliki potensi untuk menarik pengunjung wisatawan lokal maupun mancanegara. Pada masa liburan panjang, pada akhir tahun, misalnya, kawasan tersebut lazimnya bisa dikunjungi sekitar 1,5 hingga 2 juta orang.
Agar kawasan Bopunjur tidak kehilangan pesonanya dan menggeliat kembali sebagai destinasi wisata unggulan, sarana transportasi massal yang aman, nyaman, tepat waktu, dan memadai menjadi sebuah keniscayaan.
BPTJ Kaji Bangun Infrastruktur di Puncak
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kemenhub telah membuat kajian awal terkait kemungkinan infrastruktur transportasi yang dapat mengatasi masalah tersebut. BPTJ Kemenhub telah mengajukan rekomendasi pembangunan infrastruktur dan moda transportasi yang paling diprioritaskan untuk di kawasan Puncak yaitu kereta AGT (automated guideway transit) dan kereta gantung (cable car), yang merupakan hasil kajian BPTJ pada tahun silam. Namun demikian, untuk membangun moda transportasi massal berbasis rel di kawasan Puncak diprediksi akan membutuhkan biaya tak kurang dari Rp 7,31 triliun.
Direktur Prasarana BPTJ Kemenhub, Jumardu menyampaikan kajian yang pernah dilakukan bersifat komprehensif. Transportasi massal berbasis rel yang paling memungkinkan untuk diterapkan dan mengatasi kemacetan lalu lintas kawasan Bopunjur, Jawa Barat.
Jumardu menyebutkan, fungsi yang maksimal sebagai angkutan umum massal menjadi pertimbangan utama untuk kawasan tersebut. Selain itu, lanjut Jumardu, harus mempertimbangkan karakteristik demand serta faktor teknis yang paling memungkinkan, sehingga akan menarik perhatian investor untuk mendanai proyek tersebut.
Kajian BPTJ, seperti yang dilansir Jumardu menyebutkan, keseluruhan panjang lintasan angkutan berbasis rel untuk Kawasan Puncak adalah sepanjang 27,88 kilometer (km) yang terbagi ke dalam dua segmen. Segmen 1 yakni antara Sentul City hingga Taman Safari sepanjang 23,40 km menggunakan moda kereta AGT. "Wisatawan yang akan ke kawasan Puncak sudah dapat mengakses moda transportasi massal berbasis rel mulai dari Sentul City untuk menghindari kemacetan karena penggunaan kendaraan pribadi," ujarnya.
Sementara itu, lintasan rel Segmen 2 adalah antara Taman Safari hingga kawasan Puncak sepanjang 4,48 km yang akan menggunakan kereta gantung. Lintasan Segmen 2 yang menggunakan kereta gantung lebih melayani wisatawan yang sudah berada di Puncak yang menginginkan wisata lanjut ke wilayah sekitar Puncak.
"Kalau melihat karakteristik para wisatawan yang ke Puncak itu, biasanya membawa banyak barang sebab mereka umumnya menginap 1-2 malam beserta kerabat atau teman. Ini lebih tepat dilayani dengan Kereta AGT yang memungkinkan membawa barang sementara kereta gantung tidak memungkinkan untuk membawa barang itu," jelas Jumardi.
Sebenarnya, lanjut Jumardi, terdapat jenis moda berbasis rel lain yang memiliki kemampuan mengangkut orang secara massal dengan barang bawaan yakni monorail dan LRT. Tetapi, LRT jauh lebih membutuhkan ruang dan biaya yang lebih besar.
Di samping itu, monorail memiliki keterbatasan pasokan karena secara global tidak cukup banyak yang menggunakan teknologi tersebut sehingga jaminan keberlanjutan suku cadang juga kurang terjamin. "Untuk saat ini di dunia internasional, kereta AGT merupakan moda berbasis rel yang paling banyak digunakan untuk angkutan perkotaan sekaligus wisata. Teknologinya juga terus berkembang sehingga lebih terjamin kelangsungan pasokannya," tutup Jumardi.
Direktur Prasarana BPTJ itu menambahkan, salah satu konsekuensi yang timbul jika harus membangun kereta gantung di Puncak yaitu soal biaya pembangunan yang diperkirakan akan menghabiskan biaya mencapai Rp7,31 triliun. Dia memerinci, jumlah tersebut terbagi atas pembiayaan pembangunan kereta AGT sebesar Rp 6,32 triliun dan kereta gantung hampir Rp 1 triliun. Jumlah sebesar itu belum termasuk pembebasan lahan yang diperkirakan membutuhkan biaya sebesar Rp 693 miliar. “Karena bentuk kajian awal ini adalah Outline Business Case (OBC) maka sudah muncul perhitungan awal kemungkinan proyek dapat melibatkan investasi swasta dengan skema KPBU,” ujar Jumardi.
Lebih lanjut, Jumardi menjelaskan, dalam kajian tersebut BPTJ telah menghitung biaya operasional baik sarana maupun prasarana. Hingga potensi pendapatan utama (fare revenue) dan pendapatan tambahan (non fare revenue) serta kelayakan ekonomi, keuangan maupun nilai value for money. Hasilnya, kata dia, terdapat opsi melibatkan investasi swasta untuk pembangunan kereta AGT dan kereta gantung di Puncak melalui Kerjasama Pemerintah - Badan Usaha (KPBU) paling memungkinkan apabila disertai dukungan Pemerintah yang diperkuat.
Bentuk dukungan Pemerintah yang diperkuat seperti menyangkut pembebasan tanah, penyediaan tambahan prasarana pendukung, subsidi tarif, hingga jaminan terhadap risiko terminasi perjanjian. "Hasil kajian awal ini sudah kami sosialisasikan pekan kemarin kepada segenap stakeholder baik kelembagaan pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan penanganan permasalahan Kawasan Puncak,” tuturnya.
Menurut Jumardi, bagaimana kelanjutan opsi pembangunan transportasi massal berbasis rel di Kawasan Puncak masih perlu proses pendalaman baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. “Saya kira pembangunan transportasi massal berbasis rel hanya salah satu jenis pendekatan yang mungkin dilakukan. Untuk mengatasi masalah kemacetan Kawasan Puncak tetap perlu dikembangkan berbagai pendekatan lain,” cetusnya. (AS/IS/RY/HG)