(Jakarta, 3/08/09) Direktur Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan Herry Bakti S Gumay menjelaskan, pihaknya akan melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait hilangnya pesawat milik Merpati Nusantara Airline (MNA) di Papua pada Minggu, 2 Agustus 2009. Evaluasi tersebut di antaranya meliputi fasilitas penerbangan, prosedur operasi standar (SOP) maskapai dan awak, serta sistem manajemen operator bersangkutan.
”Semua akan kita evaluasi. Untuk menyelidiki ini, kita telah mengutus dua orang inspektor dari Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) untuk bekerja sama dengan investigator KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi),” jelas Herry Bakti kepada wartawan di kantornya, Gedung Dephub, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (3/8).
Diungkapkan Herry, kondisi pesawat Merpati yang hilang tersebut dalam kondisi laik terbang. Pesawat diregistrasi dan mulai dioperasikan di Indonesia oleh Merpati sejak 2006, dengan kode registrasi PK-NVC. ”Masa berlaku izin operasinya masih panjang, sampai 2011,” tambah Herry.
Selain pesawat, pilot Capt. Qadrainova merupakan pilot yang tergolong cukup berpengalaman dengan pengalaman terbang mencapai 6000 jam. Sedangkan kopilot Pramudya, sebanyak 2000 jam. Qadrainova, jelas Herry, juga terbilang cukup menguasai rute penerbangan di kawasan Papua, dan familiar dengan kontur rute yang dilaluinya. ”Pilot Qadrainova sudah sejak 2005 menerbangkan pesawat di Papua, jadi cukup berpengalaman dengan wilayah di sana,” jelasnya.
Ditanya tentang kemungkinan penyebab hilangnya pesawat, Herry Bakti mengaku belum dapat menjelaskan, mengingat belum ditemukannya pesawat tersebut. ”Kalau bicara cuaca, belum tentu juga. Karena informasi terakhir yang diterima, cuaca di rute itu sangat cerah. Sebagai bukti, pesawat Susi Air yang lepas landas setelahnya, bisa tiba lebih dulu di Oksibil dengan selamat. Segala kemungkinan kita akan evaluasi nanti setelah pesawat ditemukan,” kata Herry.
Menurutnya, pesawat Susi Air yang dikatakannya itu adalah pesawat terakhir yang terbang pada rute sama, dari Sentani menuju Oksibil. Pesawat Susi Air itu lepas landas dari Sentani antara 15-20 menit setelah Merpati PK-NVC mengudara. ”Tetapi, pesawat Susi Air itu sampai lebih dulu. Sedangkan Merpati malah tidak kelihatan sampai sekarang. Ini adalah penerbangan kedua pesawat yang hilang itu di hari itu untuk rute yang sama,” tuturnya.
Herry Bakti mengungkapkan, jalur penerbangan wilayah Papua yang dipenuhi pegunungan, merupakan jalur yang paling rawan di Indonesia. Di wilayah yang kondisi cuacanya kerap berubah-ubah secara mendadak itu pula kecelakaan penerbangan sering terjadi. Direktorat Perhubungan Udara saat ini sudah menginventarisasi rute-rute penerbangan tetap yang dimiliki operator penerbangan yang beroperasi di wilayah tersebut.
Inventarisasi itu, menurut Herry Bakti, merupakan bagian dari evaluasi untuk menerbitkan standar khusus penerbangan di Papua dalam rangka peningkatan mutu keselamatan penerbangan. Ke depan, setelah dievaluasi, jalur-jalur penerbangan yang telah ada itu dibakukan sebagai rute induk tetap yang akan menjadi acuan maskapai. ”Hingga saat ini sedikitnya sudah 30 rute komersial yang kita inventarisasi dari sejumlah operator. Kita masih kumpulkan lagi rute-rute lainnya,” sambung Herry.
Selain rute penerbangan, Herry menambahkan, pihaknya saat ini juga tengah mengkaji rencana kebijakan pemasangan alat pemantau pergerakkan dan posisi pesawat udara (Flight Following Monitor/FFM). Perangkat yang terkoneksi dengan satelit itu memiliki kemampuan mengikuti aktivitas pesawat secara aktual.
”Jadi, dengan alat ini (FFM), ke mana pun pesawat bergerak dan telah singgah di manapun bisa terpantau langsung. Satu-satunya maskapai yang sudah mengadopsi perangkat ini adalah maskapai Susi Air,” paparnya.
Pada kondisi seperti yang dialami pesawat Merpati saat ini, setidaknya alat tersebut bisa dimanfaatkan untuk membantu memudahkan proses pencarian. Meskipun pesawat Twin Otter DHC-6 yang digunakan merpati itu sendiri telah dilengkapi Emergency Locator Beacon (ELBA). ELBA adalah alat pengirim sinyal darurat yang dipasangkan pada setiap pesawat, yang bekerja ketika pesawat mengalami benturan keras maupun terjatuh ke dalam air.
Selain flight following monitor, dia menambahkan, akan dikaji pula kemungkinan menerapkan aturan pemasangan perangkat kotak hitam (black box) secara utuh, yang terdiri dari Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR). ”Kalau yang hilang ini hanya dilengkapi CVR, FDR-nya tidak ada. Ke depan, mungkin akan kita rekomendasikan pemasangan FDR untuk memudahkan penyelidikan,” kata Herry. (DIP)