(Jakarta,19/9/2013) Pengembangan industri kedirgantaraan Indonesia menjadi urgensi penetapan Peraturan Pemerintah tentang Pemberdayaan Industri dan Pengembangan Teknologi Penerbangan. Pertumbuhan penumpang transportasi udara selain berfungsi menghubungkan daerah-daerah kepulauan di seluruh Indonesia juga membuka berbagai peluang bagi pengembangan industri kedirgantaraan dan industri pendukung di Indonesia. Hal tersebut mencuat dalam diskusi Badan Litbang Perhubungan yang mengambil tema “Urgensi Percepatan Penyusunan dan Penetapan Peraturan Pemerintah tentang Pemberdayaan Industri dan Pengembangan Teknologi Penerbangan” di Ruang Rapat Badan Litbang Kementerian Perhubungan Jakarta, Kamis (19/9).
Transportasi udara merupakan bisnis yang saat ini sangat berkembang di Indonesia. Data Direktorat jenderal perhubungan Udara Kementerian Perhubungan menunjukkan total penumpang pesawat terbang di Indonesia tahun 2012 telah mencapai 77.221.559 penumpang tujuan domestik dan internasional. Pertumbuhan penumpang menggunakan pesawat udara sejak tahun 2007 hingga 2016 diprediksi mengalamai pertumbuhan sebanyak 13,4% domestik dan 19,3% internasional.
Minda Mora, Peneliti Badan Litbang Kemenhub dalam paparannya menyebutkan dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan industri terkait penerbangan terdiri dari 7 jenis yaitu industri rancang bangun dan produksi pesawat udara; industri perawatan pesawat udara; industri mesin, baling – baling, dan komponen pesawat; industri fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan; industri teknologi informasi dan navigasi penerbangan; industri kebandarudaraan; dan fasilitas pendidikan dan peralatan personel penerbangan. “Tiap jenis industri tersebut memiliki tantangan dan peluang masing-masing. Beberapa kebijakan yang perlu diambil pemerintah adalah memberikan kemudahan fasilitas pembiayaan dan perpajakan, memberikan subsidi yang lebih besar ke fasilitas pendidikan dan pelatihan khususnya untuk Aircraft Maintanance Training Organization/AMTO, kebijakan menggunakan produk-produk dalam negeri, dan memfasilitasi kerja sama alih teknologi dengan industri sejenis dan/atau pasar pengguna di dalam dan luar negeri, “tutupnya.
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT. Dirgantara Indonesia, Andi Alisyahbana menanggapi kebutuhan mendesak dari Peraturan Pemerintah terkait Pemberdayaan Industri dan Pengembangan Teknologi Penerbangan secara keseluruhan terletak pada bisnis transportasi udara di Indonesia. “Seperti disampaikan dalam paparan jumlah penumpang domestik tahun ini mencapai 7 juta penumpang dengan total pertumbuhan penumpang menggunakan pesawat lebih dari 13%. Namun yang perlu diingat, pertumbuhan sebanyak 13% tersebut dilihat dari perputaran uang kaitannya dengan industri penerbangan banyak keluar dari Indonesia. Ini yang harus dicari jalan keluarnya,” lanjut Andi.
Andi mencontohkan industri penerbangan merupakan fenomena gunung es. Keuntungan yang dihasilkan perusahaan pembuat pesawat bukan terletak pada berapa banyak produksi pesawat yang dihasilkan tetapi pada industri-industri pendukung penerbangan lainnya. Hal ini yang menurut Andi harus dipegang di dalam negeri. “Perusahaan raksasa Boeing dan Airbus hanya berkontribusi sekitar 15%-20% terhadap perusahaan, namun ternyata 85% kontribusi keuntungan didapat dari industri pendukung mulai dari komponen, maintanance, supplier, dan subkontraktor,” lanjutnya. Ia juga menyebutkan PT. DI merupakan subkontraktor dari Airbus dengan membuat bagian sayap pesawat. “Setiap bulan kami memproduksi sayap pesawat untuk 40 pesawat yang diproduksi Airbus. Bisa dibayangkan jika semua komponen pendukung pesawat Indonesia berasal dari lokal,” jelasnya.
Lebih lanjut, Andi menjelaskan PT DI berupaya agar merancang pesawat yang lebih banyak menggunakan komponen pendukung lokal. “Saya ambil contoh pesawat CN 235 merupakan produk Indonesia, tetapi sparepart mulai dari baut, dll merupakan produksi negeri. Kalau Airbus 80% perputaran uangnya ada di Seattle, AS tetapi pesawat buatan Indonesia sebagian besar memutar uangnya di luar negeri. Untuk itulah, saat ini membuat CN 219 yang tipe pesawatnya dibutuhkan Indonesia, tetapi komponen, teknologi, dan pendukung lainnya sebagian besar di Indonesia agar perputaran uang tetap di Indonesia,” tutupnya.
Hisar Pasaribu (Akademisi Bidang Aircraft Design, Operation and Maintanance Research Division dari Institut Teknologi Bandung) menyatakan pemberdayaan industri penerbangan dan pengembangan teknologi penerbangan tidak dapat dilakukan secara parsial dan perlu kerjasama antara pemerintah, industri, dan akademisi. “Pemerintah berfungsi dalam pendanaan, pendorong penggunaan produk lokal, pembuatan regualasi yang tepat dan serasi dengan regulasi internasional agar produk dapat dipasarkan, dukungan insentif perpajakan, dan pendidikan. Akademisi berfungsi sebagai penyedia riset dasarm terapan, industri dan pengembangan prototype serta penyedia tenaga terampil profesional. Lembaga keuangan berfungsi sebagai penyedia dana untuk riset pengembangan, pendanaan, program rancang bangun, dan skema kredit ekspor. Indsutri berfungsi untuk rancang bangun produk dengan jaminan quality, cost, delivery serta dukungan purna jual. Selain itu ada pengguna yang berfungsi sebagai pendanaan, komitmen pembelian, dan umpan balik operasi dan perawatan, “ paparnya.
Roundtablediscussion menghadirkan pembicara yaitu Minda Mora (Peneliti Badan Litbang , Kemenhub), Suharyadi Partodinoyo ( Kasubdit Rekayasa, Direktorat KUPPU, Ditjen Perhubungan Udara, Hisar. M. Pasaribu (Akademisi ITB), dan Achmad Ridih Almanshoer (Kasubdit Indistri Kedirgantaraan dan Alat Petahanan Kementerian Perindustrian). Pembahas dalam RTD ini yaitu Andi Alisyahbana (Direktur Teknologi dan Pengembangan PT. Dirgantara Indonesia), M. Syafi”i (Marskal Pertama TNI, Kementerian Pertahanan), Facri Zainuddin (Komsiaris PT. AP II), Fadli Susilo (Direktur Penerbangan Perum LPPNPI), Sakib Nasution (VP. Airworthiness Management), dan Agus Sudaryo (Indonesia Aircraft Maintanance Shop Association). Moderator dalam dikusi ini adalah Nyoman Suanda Santra (Kapuslitbang Perhubungan Udara, Kemenhub). (ARI)