Bambang menyatakan anggaran Rp. 114 triliun, belum mencakup besarnya dana yang diperlukan untuk membangun bandara-bandara kecil yang berada di luar koridor ekonomi. Sementara untuk mendukung konektivitas antar regional, Bambang menambahkan pemerintah Indonesia telah menganggarkan pembangunan 24 bandara baru senilai Rp. 2,1 triliun, dimana 12 bandara diantaranya telah beroperasi pada tahun 2013, 7 bandara pada tahun 2014 dan 5 bandara pada tahun 2015.
Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur bandara, pemerintah Indonesia juga melibatkan investasi swasta, melalui skema kerjasama pemerintah swasta / publik private partnership (KPS/PPP). “Telah direncanakan pembangunan lima bandara greenfield atau bandara baru yang akan dikerjasamakan dengan skema PPP dalam waktu dekat yaitu Bandara baru di wilayah Jabodetabek, Bandara Yogyakarta yang baru, Bandara baru di Bali Utara, Bandara baru di Selatan Provinsi Banten, dan Bandara baru di Kertajati di wilayah Jawa Barat,” terang Bambang.
Dengan populasi jumlah penduduk sejumlah 240 juta jiwa dan 83,7 juta perjalanan udara trip domestik dan internasional, Indonesia menjadi salah satu pasar penerbangan yang sangat besar dimana laju pertumbuhan lalu lintas udaranya termasuk paling tinggi di dunia. “Kami mencatat bahwa pertumbuhan penumpang angkutan udara domestik tumbuh rata-rata 13,8 persen per tahun antara 2009-2013 dan angkutan udara internasional 19,3 persen pada priode yang sama. Ketika angkutan udara global tumbuh 5 persen per tahun atau menjadi 2 kali lipat setiap 15 tahun, perjalanan udara di Indonesia menjadi 2 kali lipat setiap 10 tahun,” jelas Bambang.
Saat ini Indonesia memilki 22 maskapai di bawah OC 121 dan 35 maskapai di bawah AOC 135 yang melayani sekitar 400 penerbangan rute domestik dan internasional dan menghubungkan 121 kota di Indonesia dan 21 negara. Dengan demand perjalanan udara yang sedemikian tinggi, bandara di indonesia mengalamai tekanan yang cukup besar. Sehingga seluruh bandara yang dioperasikan oleh Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II rata-rata mengalami masalah overcapacity. Crowdedness index bandara-bandara tersebut telah melampaui nilai 1 yang menandakan kapasitas terminal yang telah melewati 100 persen. “Saat ini terdapat 13 bandara yang dioperasikan Angkasa Pura I dan 13 bandara yang dioperasikan Angkasa Pura II serta 273 bandara unit pelaksana teknis (UPT) yang dioperasikan oleh Ditjen Perhubungan Udara,” kata Bambang.
Dalam bidang navigasi udara Bambang mengatakan, Indonesia telah menghabiskan USD 250 juta untuk meningkatkan sistem manajemen lalu lintas udara dengan peralatan berteknologi canggih. Untuk meningkatkan keamanan dan keefisienan layanan navigasi udara telah didirikan satu penyedia tunggal navigasi udara yang memeungkinkan pemisahan fungsi regulasi dan operasi sesuai dengan panduan ICAO. Ruang udara Indonesia saat ini telah dilayani satu navigasi alat bantu sistem penginderaan jarak jauh atau radar survailance dan ADSB. Indonesia telah memasang 31 ADSB ground station, dimana 21 diantaranya diproses di pusat pengendalian lalu lintas udara bagian timur Indonesia di kota Makassar.
Pada kesempatan yang sama Parliamentary Vice-Minister of land, Infrastructure, Transport and Tourism Jepang Manabu Sakai mengatakan Indonesia dan Jepang memilki kesamaan yaitu sebagai negara kepulauan, sehingga peran transportasi udara menjadi sangat penting di kedua negara. Pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, dengan peningkatan keselamatan dan kenyamanan yang harus diutamakan, juga dialami oleh negara Jepang. “Kerjasama di bidang transportasi udara antara kedua negara ini tentu sangat penting bukan hanya bagi kedua negara tapi juga untuk meningkatkan jaringan transportasi udara di wilayah asia pasifik dan akan memberikan konstribusi kemakmuran di wilayah ini,” ujarnya. (HH)